Kuda, merupakan salah satu ternak yang telah lama dekat dengan manusia, keberadaannya dipertahankan karena ketangkasan, kekuatan, kecepatan dan manfaatnya. Sebagai salah satu ternak sumber daya lokal peternakan, penyebaran kuda kurang merata bila dibandingkan dengan sapi, kambing, domba, ayam dan babi. Populasi kuda di Indonesia Tahun 2021 sebanyak 401.328 ekor, dengan sebaran terbanyak di Provinsi Sulawesi Selatan 176.359 ekor, Provinsi Nusa Tenggara Timur 125.670 ekor dan Provinsi Nusa Tenggara Barat 49.935 ekor. Populasi kuda di provinsi lain tidak lebih dari 11.000 ekor/provinsi (BPS, 2021).
Selain digunakan sebagai sarana transportasi dan wisata, kuda juga dimanfaatkan untuk olahraga ketangkasan berkuda dan pacuan kuda. Olahraga berkuda, mendorong perbaikan mutu genetik dengan grading-up kuda lokal dengan kuda impor, khususnya untuk untuk kecepatan berlari dan ketangkasan. Pemanfaatan kuda di Indonesia telah sangat berkembang, setidaknya ada 5 segmentasi pemanfaatan kuda antara lain kuda pacu (racing), kuda tunggang (equestrian), kuda sebagai alat niaga (transportasi, budaya, wisata & konsumsi/daging kuda), serta kuda sebagai hewan kesayangan (tidak untuk kegiatan apapun). Sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan pengalaman, manusia berusaha mendapatkan kuda yang handal dalam berpacu, cerdas, patuh, setia dan tangkas.
Untuk menghasilkan kuda yang mempunyai keunggulan tersebut, tentu harus disertai dengan usaha seleksi dan pengaturan pembiakan yang baik (Maswani & Noviar, 2014). Hingga saat ini pola pengembangbiakan kuda pada peternakan rakyat sebagian besar masih menggunakan sistem kawin alam, bahkan di Pulau Sumba kawin alam terjadi tanpa pengawasan peternak terhadap pejantan dan betina yang digunakan. Pada peternakan kuda komersial, peternak telah melaksanakan seleksi indukan untuk menghasilkan keturunan yang diinginkan. Pasar perkawinan kuda ini telah menjadi salah satu sumber pendapatan peternakan kuda. Biaya kawin kuda (hingga bunting) berkisar pada angka jutaan rupiah, bahkan mencapai 100 juta rupiah tergantung pejantan yang digunakan. Semakin unggul genetik pejantan, maka harga kawinnya akan semakin tinggi. Peternak kuda level menengah kebawah kerap kesulitan mengakses perkawinan dengan pejantan unggul karena mahalnya biaya kawin. Kuda yang mereka miliki dikawinkan dengan pejantan ‘seadanya’, akibatnya peningkatan genetik yang diharapkan tidak tercapai bahkan terjadi penurunan kualitas genetik. Hal tersebut berpengaruh pada produktivitas induk kuda dalam menghasilkan anak untuk dijual, sehingga penerimaan peternak menjadi tidak optimal. Penerimaan yang tidak optimal bahkan menurun, dapat mengakibatkan turunnya minat masyarakat terhadap pembibitan kuda. Permintaan kuda untuk berbagai kebutuhan masih sangat tinggi, terutama kuda yang diperuntukkan sebagai kuda wisata, kuda endurance, kuda latihan maupun kuda untuk transportasi.
Inseminasi buatan pada kuda telah dilaksanakan sejak tahun 2000-an di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta dengan menggunakan semen cair. Angka konsepsi yang dicapai cukup tinggi, yaitu 40%-50%. Pelaksanaan IB dimulai pada hari keempat estrus dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut sampai gejala estrus hilang. Pelaksanaan IB menggunakan semen beku juga dilakukan pada tahun 2000-an di Jakarta, tetapi hanya terbatas pada stable tertentu, dan semen beku yang digunakan masih impor dengan harga yang sangat mahal (Arifiantini, 2009). Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kuda merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan populasi kuda mengingat kuda merupakan salah satu komoditas ternak pendukung pembangunan peternakan, tetapi saat ini jurnlahnya cenderung menurun. Inseminasi dapat dilakukan dengan menggunakan semen cair mau pun semen beku. Semen beku atau frozen semen adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku 1-79 "C sampai -196 "C). Semen beku mempunyai kelebihan karena dapat disimpan lebih lama, sehingga memungkinkan dilakukan perkawinan yang selektif dimana saja dan setiap waktu (Kacker dan Panwar, 19951, mengurangi resiko buruk dan stress pada kuda betina serta menurunkan biaya transportasi (Anon, 2002). Dibandingkan dengan semen sapi dan domba, semen kuda lebih rentan terhadap proses - pembekuan dan thawing serta bervariasi antar individu (Anon, 2006). Di samping itu kemampuan spermatozoa kuda bertahan terhadap proses pembekuan (freezing capability) sangat rendah, yaitu hanya 24% (Linfor et al,, 2002) sampai 33% (Vidament et at., 2002) atau 3040% (Alvarenga et al,. 2004). Secara umum pada saat pembekuan semen mengalami penurunan kualitas sekitar 10 - 40% (Parrish's, 2003) hingga 50% (Sorensen, 1987).
Harga semen beku impor yang sangat mahal dan biaya kawin yang tidak murah, memerlukan peran pemerintah untuk hadir dan ikut serta dalam pembibitan kuda. Keikutsertaan pemerintah melalui BIB Lembang diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat luas terhadap pembibitan kuda dan meningkatkan mutu genetik kuda di masyarakat dengan biaya terjangkau. Selain itu, dengan dilaksanakannya produksi semen beku kuda maka variasi produk BIB Lembang akan bertambah, demikian pula dengan layanan yang dimiliki. Peningkatan/penambahan layanan pada akhirnya diharapkan akan menambah pendapatan BIB Lembang sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Manfaat lainnya bagi BIB Lembang adalah bertambahnya jejaring/mitra kerjasama dibidang pembibitan ternak kuda.